Wednesday, May 28, 2014
I. UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
Menimbang : a. bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan perekonomian nasional
opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga
mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus
mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan
tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c. bahwa semakin terbukanya pasar
nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan
barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan
martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindung dirinya serta menumbuhkembangkan sikap
perilaku usaha yang bertanggung jawab;
e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi
kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai
f. bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk
mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha
sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g. bahwa untuk itu perlu dibentuk
undangundang tentang perlindungan konsumen.
Mengingat : Pasal
5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang
dimaksud dengan :
1. Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen
2. Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
4. Barang
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi
adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau
jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan
dan sedang diperdagangkan.
7. Impor
barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8. Impor
jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
9. Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang
terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
10. Klausula
Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
11. Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu
upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri
adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
a.
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e.
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f.
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban
Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
g.
hak unduk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b.
beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di
dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal
7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
b.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG
DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b.
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
c.
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan
dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam
label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g.
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/
dibuat;
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundangundangan yang berlaku.
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada
ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut
serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
(1)
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolaholah:
a.
barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki
potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.
barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau
baru;
c.
barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan
dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
d.
barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.
barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.
barang tersebut tidak mengandung cacat
tersembunyi;
g.
barang tersebut merupakan kelengkapan dari
barang tertentu;
h.
barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.
secara langsung atau tidak langsung merendahkan
barang dan/atau jasa lain;
j.
menggunakan katakata yang berlebihan, seperti aman,
tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan
yang lengkap;
k.
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang
belum pasti.
(2)
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang
dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai:
a.
harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.
kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.
kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti
rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.
tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan;
e.
bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan
yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan
konsumen dengan;
a.
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut
seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.
menyatakan barang dan/atau jasa tersebut
seolaholah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.
tidak berniat untuk menjual barang yang
ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.
tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu
dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.
tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu
atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.
menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa
sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau
tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan
atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan
jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
melalui cara undian, dilarang untuk:
a.
tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu yang dijanjikan;
b.
mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c.
memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang
dijanjikan;
d.
mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai
hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang
dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a.
tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan
waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.
tidak menepati janji atas suatu pelayanan
dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1)
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi
iklan yang:
a.
mengelabui konsumen mengenai kualitas,
kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan
waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.
mengelabui jaminan/garansi terhadap barang
dan/atau jasa;
c.
memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak
tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.
tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian
barang dan/atau jasa;
e.
mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang
tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.
melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan
perundangundangan mengenai periklanan.
(2)
Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan
peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN
PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
(1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha;
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen;
d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa;
g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2)
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku
yang bertentangan dengan undangundang ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2)
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3)
Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung
jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut.
Pasal 21
(1)
Importir barang bertanggung jawab sebagai
pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan
oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2)
Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia
jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha
tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan atau
tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan
ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1)
Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa
kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau
gugatan konsumen apabila:
a.
pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa
melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.
pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli
tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh
pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
(2)
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa
tersebut.
Pasal 25
(1)
Pelaku usaha yang memproduksi barang yang
pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun
wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2)
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha tersebut:
a.
tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.
tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan
jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang
diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang
dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan
atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.
cacat barang timbul pada kemudian hari;
c.
cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang;
d.
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun
sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
(1)
Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen
dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2)
Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3)
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4)
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a.
terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan
yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat;
c.
meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta
meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
(1)
Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2)
Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3)
Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar.
(4)
Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku
dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5)
Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat
dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6)
Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan,
Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
(1)
Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.
memberikan saran dan rekomendasi kepada
pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan
konsumen;
b.
melakukan penelitian dan pengkajian terhadap
peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.
melakukan penelitian terhadap barang dan/atau
jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.
mendorong berkembangnya lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat;
e.
menyebarluaskan informasi melalui media mengenai
perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.
menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen
dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha;
g.
melakukan survei yang menyangkut kebutuhan
konsumen.
(2)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan
organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi
dan Keanggotaan
Pasal 35
(1)
Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas
seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta
sekurangkurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyakbanyaknya 25 (duapuluh
lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2)
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah
dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)
Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota
Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)
Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional terdiri atas unsur:
a.
pemerintah;
b.
pelaku usaha;
c.
lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
d.
akademis; dan
e.
tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan baik;
d.
tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
perlindungan konsumen; dan
f.
berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional berhenti karena:
a.
meninggaldunia;
b.
mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.
bertempat tinggal di luar wilayah Republik
Indonesia;
d.
sakit secara terus menerus;
e.
berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f.
diberhentikan.
Pasal 39
(1)
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan
Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu oleh sekretariat.
(2)
Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
(3)
Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
(1)
Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu
pelaksanaan tugasnya.
(2)
Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan
Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan
belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
(1)
Pemerintah mengakui lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2)
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan
konsumen.
(3)
Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat meliputi kegiatan:
a.
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b.
memberikan nasihat kepada konsumen yang
memerlukannya;
c.
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen;
d.
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN
SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 45
(1)
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
(2)
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para
pihak yang bersengketa.
(3)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana diatur dalam Undangundang.
(4)
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat
ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak
atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46
(1)
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh:
a.
seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris
yang bersangkutan;
b.
kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama;
c.
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.
pemerintah dan/atau instansi terkait apabila
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2)
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan
umum.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak
akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal
48
Penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku
dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
(1)
Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa
konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan.
(2)
Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan
penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan baik;
d.
tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
perlindungan konsumen;
f.
berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3)
Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas unsur pemerintah, unsure konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4)
Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya 5
(lima) orang.
(5)
Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas:
a.
ketua merangkap anggota;
b.
wakil ketua merangkap anggota;
c.
anggota.
Pasal 51
(1)
Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
(2)
Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen
terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
(3)
Pengangkatan dan pemberhentian kepala
sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan
penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a.
melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.
memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.
melakukan pengawasan terhadap pencantuman
klausula baku;
d.
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam Undangundang ini;
e.
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak
tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f.
melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen;
g.
memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli
dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap
Undangundang ini;
i.
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan
pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada
huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian
sengketa konsumen;
j.
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat,
dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak konsumen;
l.
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m.
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undangundang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah
Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
(1)
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa
konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
(2)
Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ganjil dan sedikitsedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang
panitera.
(3)
Putusan majelis final dan mengikat.
(4)
Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai
pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen
wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari
kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
(1)
Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2)
Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut.
(3)
Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4)
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian
sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan
penyidikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(5)
Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi
penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan
Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
(1)
Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan
atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling
lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2)
Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3)
Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib
mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
(1)
Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Hukum
Acara Pidana yang berlaku.
(2)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau
badan hukm yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang
perlindungan konsumen;
d.
melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan,
dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
e.
melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang
diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen.
f.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4)
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
S A N K S I
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1)
Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang
menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
(2)
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi
paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3)
Tata cara penetapan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundangundangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
(1)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(3)
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka
berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana
yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a.
perampasan barang tertentu;
b.
pengumuman keputusan hakim;
c.
pembayaran ganti rugi;
d.
perintah penghentian kegiatan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.
kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.
pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan
perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat
undangundang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur
secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang undang ini mulai berlaku
setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF
HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 1999
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Amar putusan MA (Mahkamah Agung) No.54/K/2008 tanggal 8 Mei 2008, memutuskan bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan diwajibkan untuk mengeluarkan surat keputusan pembayaran berdasarkan program penjaminan pemerintah atas seluruh dana simpanan nasabah Bank Global. pemerintah harus membayar seluruh dana simpanan nasabah PT. Bank Global Internasional Tbk (dalam likuidasi) dengan besaran jumlah sebagaimana tercantum dalam buku tabungan, bilyet deposito berjangka, dan giro rekening atas nama nasabah.
II. KASUS
Permainan
Reksa Dana Yang Merugikan Konsumen
Praktek penyalahgunaan dana nasabah
oleh bank kembali terkuak dengan mulai tersingkapnya kabut permasalahan Bank Century. Sementara masih segar dalam
ingatan kita adanya kasus yang serupa terjadi pada nasabah Bank Global. Dari
kedua kasus itu, ada benang merah keruntuhan pengelolaan keuangan bank yaitu
terjadi karena permainan reksa dana yang berdampak pada kerugian yang besar
bagi bank hingga mencapai CAR yang minus. Lebih jauh nasabahlah yang menanggung
derita karena tidak ada kepastian dan tidak ada jaminan uang yang telah
ditanamkan sebagai investasi di bank tersebut akan dikembalikan.
Terdapat kesamaan modus antara Bank Global dan Bank Century. Berdasarkan
informasi Bank Indonesia dan BAPEPAM, ternyata reksa dana yang dipasarkan
kepada nasabah/konsumen tidak tercatat di BAPEPAM, alias ilegal. Penjualan
produk reksa dana tidak didukung dokumen yang memadai, seperti
prospektus, bukti unit penyertaan reksa dana yang ditandatangani penerbit.
Pemasaran reksa dana hanya dari mulut ke mulut dan tidak pernah dipublikasikan.
Tabel 1. Persamaan Modus Bank Global dan Bank Century
No.
|
Bank Global
|
Bank Century
|
1.
|
Penjualan Reksa
dana
Nasabah membeli reksa dana yg diterbitkan PT. Prudence Asset Management melalui Bank Global, tapi fiktif. |
Nasabah membeli
produk reksa dana yg
diterbitkan PT. Antaboga Delta Securitas melalui Bank Century, tapi fiktif. |
2.
|
Pendaftaran Reksa
Dana
Tidak didaftarkan ke Bapepam |
Tidak didaftarkan
ke Bapepam
|
3
|
Imbal jasa
Daya tarik nasabah timbul krn bunga pinjaman lebih besar dibandingkan bunga yang berlaku di pasar: 11 – 12% per tahun |
Daya tarik
nasabah timbul karena bunga
pinjaman lebih besar dibandingkan bunga yang berlaku di pasar: 12 – 13% |
Terulangnya kembali kerugian
konsumen akibat permainan reksa dana tentu sangat meresahkan dan menjadi
perhatian besar bagi BPKN untuk memberikan perlindungan bagi konsumen korban.
Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus Bank Global di bawah ini:
Kasus Posisi
BPKN menerima pengaduan dari nasabah Bank Global tentang arus dana
tabungan/deposito yang belum diselesaikan. Untuk mendapatkan data dan informasi
yang akurat, BPKN telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan
nasabah/konsumen korban.
Penanganan
Kasus
Menyikapi kasus Bank Global, BPKN telah memberikan rekomendasi kebijakan
strategis yang telah disampaikan kepada Presiden melalui surat BPKN No.
197/BPKN/X/2005 tentang Saran Kebijakan Perbankan dalam rangka Perlindungan
Konsumen, khususnya Nasabah Bank Global, yang pada intinya sebagai berikut:
1.
Bank Indonesia (BI) belum menjalankan tugas
untuk mengawasi Bank sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 8 Butir c UUBI. Hal
ini ternyata dari fakta bahwa suatu transaksi reksa dana yang tidak jelas arus
dananya, yang telah terjadi di dalam operasi Bank Global, berlangsung tanpa
pengawasan berbentuk pemeriksaan dari Bank Indonesia. Kalaupun ada pemeriksaan
yang dilakukan oleh Bank Indonesia, pemeriksaan tersebut dilakukan setelah
kasus Bank Global terjadi.
2.
BI tidak boleh mengemukakan alasan bahwa karena
pemasaran reksa dana Bank Global hanya dari mulut ke mulut dan tidak pernah
dipublikasikan, maka BI tidak dapat menjalankan pengawasan. Padahal menurut
Penjelasan Ps. 27 UUBI pengawasan BI dapat dilakukan melalui proses penelitian,
analisis, dan evaluasi laporan Bank. Dengan proses tersebut, penyelenggaraan
reksa dana yang tidak jelas arus dananya seharusnya dapat diketahui, atau
setidak-tidaknya patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan
sebagaimana dinyatakan dalam Ps. 31 Ayat (1) UUBI.
3.
Apabila demikian, maka BI dapat memerintahkan
bank tersebut untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan
transaksi yang mencurigakan, antara lain transaksi dalam jumlah besar yang
diduga berasal dari kegiatan yang melanggar hukum.
Perlindungan
Konsumen Bank
1.
Pada kasus Bank Global, hak atas informasi
tentang arus dana yang tidak jelas dari reksa dana yang dipasarkan Bank Global
tidak diberitahukan kepada para nasabahnya. Hal ini disebabkan Bank Global
telah mengetahui bahwa reksa dana yang ditawarkan kepada nasabah merupakan
reksa dana ilegal.
2.
Dengan demikian, nasabah Bank Global merupakan
konsumen yang dirugikan karena hak mereka untuk memperoleh informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan reksa dana tidak dapat
dipenuhi oleh Bank Global.
3.
Berdasarkan Ps. 19 Ayat (1) UUPK, Bank Global
bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada konsumen berupa pengembalian
uang atau penggantian jasa yang sejenis atau setara nilainya.
4.
Adanya hasil verifikasi yang menyatakan terdapat
rekening nasabah Bank Global yang tidak dapat disimpulkan, sehingga tidak
dijamin pengembalian simpanannya, bertentangan dengan Ps. 19 UUPK.
5.
Pemerintah perlu membentuk Tim Independen untuk
menyelesaikan kasus secara adil, yang keanggotaannya melibatkan BPKN dan
berbagai pihak yang berkepentingan.
6.
BI harus meningkatkan kinerja pengawasannya
sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat. Keberpihakan kepada
konsumen harus menjadi pertimbangan utama dalam penetapan kebijakan.
Posisi
Kasus
Menanggapi rekomendasi dari BPKN, maka BI (Bank Indonesia) pada tanggal 13
Januari 2005 silam, mencabut izin usaha Bank Global. Sebelumnya, tanggal 14
Desember 2004, Bank Global telah dibekukan kegiatan usahanya karena dibelit
oleh berbagai kasus, antara lain kasus pengalihan dana nasabah ke reksadana
tanpa sepengetahuan nasabahnya.
Amar putusan MA (Mahkamah Agung) No.54/K/2008 tanggal 8 Mei 2008, memutuskan bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan diwajibkan untuk mengeluarkan surat keputusan pembayaran berdasarkan program penjaminan pemerintah atas seluruh dana simpanan nasabah Bank Global. pemerintah harus membayar seluruh dana simpanan nasabah PT. Bank Global Internasional Tbk (dalam likuidasi) dengan besaran jumlah sebagaimana tercantum dalam buku tabungan, bilyet deposito berjangka, dan giro rekening atas nama nasabah.
Tips
bagi Konsumen
1.
Jangan mudah tergiur dengan iming-iming bunga
pinjaman kepada bank lebih besar, tanpa mendapat informasi yang menyeluruh
tentang resiko dan manajemen pengelolaan keuangan bank.
2.
Pelajari arus dana bank dengan seksama.
Berhati-hati bila dana konsumen dikonversi ke reksa dana karena memiliki resiko
yang besar.
3.
Bila konsumen terlanjur berinvestasi pada suatu
produk perbankan yang berpotensi merugikan, segeralah tarik investasi anda.
4.
Gunakanlah akses pemulihan hak yang ada bila
konsumen merasa dirugikan dengan kegiatan perbankan. BI dapat memberikan
fasilitasi mediasi perbankan yang bersifat sederhana, murah, cepat dan efisien
dengan matas nilai tuntutan finansial paling banyak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
No. 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No.
8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006. Konsumen juga dapat mengadu melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Referensi:
http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-8-1999PerlindunganKonsumen.pdf
http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-8-1999PerlindunganKonsumen.pdf
http://www.perlindungankonsumen.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=178:bercermin-dari-kasus-bank-century&catid=63:artikel&Itemid=215
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment