Quote of the Day

more Quotes

Monday, January 20, 2014

Empat Prinsip Ketenagakerjaan dalam Perspektif Islam

Islam memberi perspektif mengenai ketenagakerjaan, setidaknya ada empat prinsip untuk memuliakan hak-hak pekerja, termasuk sistem pengupahannya.

Pertama, kemerdekaan manusia.

Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan sosial Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan tegas mendeklarasikan sikap antiperbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Islam tidak mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih lagi adanya praktik jual-beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan.

Penghapusan perbudakan menyiratkan pesan bahwa pada hakikatnya manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Penghormatan atas independensi manusia, baik sebagai pekerja maupun berpredikat apa pun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja.

Kedua, prinsip kemuliaan derajat manusia.

Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Allah menegaskan dalam QS. Al-Jumu’ah: 10, yang artinya, “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” Ayat ini diperkuat hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi: “Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.”

Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadis yang populer untuk menegaskan hal ini adalah “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari beberapa dalil tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan. Selain itu, tersirat dalam dalil-dalil tersebut bahwa Islam menganjurkan umat manusia agar menanggalkan segala bentuk stereotype atas berbagai profesi atau pekerjaan manusia. Kecenderungan manusia menghormati orang yang memiliki pekerjaan, yang menghasilkan banyak uang, serta meremehkan orang yang berprofesi rendahan. Padahal nasib setiap insan berbeda sesuai skenario dari AllahSubhanahu wa ta’ala. Sikap merendahkan orang lain karena memandang pekerjaannya sangat ditentang dalam Islam.

Ketiga, keadilan dan anti-diskriminasi.

Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem perbudakan, seorang pekerja atau budak dipandang sebagai kelas kedua di bawah majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena ajaran Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.

Misalnya dalam hal pemanggilan atau penyebutan, Islam melarang manusia memanggil pekerjanya dengan panggilan yang tidak baik atau merendahkan. Sebaliknya, Islam menganjurkan pemanggilan kepada orang yang bekerja dengan kata-kata yang baik seperti “Wahai pemudaku” untuk laki-laki atau “Wahai pemudiku” untuk perempuan.

Dalam sejarahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memiliki budak dan pembantu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan para budak dan pembantunya dengan adil dan penuh penghormatan. Beliau pernah mempunyai pembantu seorang Yahudi yang melayani keperluan beliau, namun beliau tidak pernah memaksakan agama kepadanya. Isteri beliau, AisyahRadhiyallahu anha, juga memiliki pembantu yang bernama Barirah yang diperlakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan isterinya dengan lemah lembut dan tanpa kekerasan.

Keempat, kelayakan upah pekerja.

Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.

Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.

Di masa sekarang, proporsioanlitas tersebut terbahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum Regional). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan, antara majikan dengan pekerja. Jika adil dimaknai sebagai kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang serta papan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).


sumber: http://pengusahamuslim.com/tenaga-kerja-dan-upah-dalam-1823#.UtQa8tIW0kQ

0 comments:

Post a Comment